Selasa, 25 April 2017

Usulan Hukuman Bagi Koruptor

Indonesia telah memasuki tahun kesembilan belas era reformasi, era yang dilandaskan dengan motivasi pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, semakin hari kita melihat bahwa bibit-bibit KKN justru semakin menyebar dan berkembang dengan suburnya. Dapat kita lihat di media massa akhir-akhir ini, banyaknya temuan kasus korupsi baru oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti kasus korupsi berjamaah dalam proyek E-KTP dan kasus PT PAL.
Bibit-bibit korupsi tersebut tidak hanya terjangkit pada para pejabat atau konglomerat yang terjerat kasus besar. Namun, juga menyebar ke berbagai lini dan kalangan masyarakat. Seperti pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum petugas lapangan dinas perhubungan, suap kepada polisi karena pelanggaran lalu lintas, dan banyak lagi.
Menurut Syafri Adnan Baharuddin (2016) korupsi adalah masalah budaya yang lebih mendasar, bukan sekadar penyakit yang dapat disembuhkan dalam suatu periode tertentu dengan obat yang mujarab. Korupsi seolah-olah menjadi budaya bangsa yang dapat dimaafkan. Karena korupsi merupakan bagian dari budaya bangsa dan budaya dunia, pemberantasannya (tidak mungkin dihilangkan sama sekali) harus dilakukan dengan pola terstruktur dengan pendekatan-pendekatan yang terfokus; dilakukan dalam bentuk blueprint suatu negara (dalam hal ini Indonesia); dilakukan dengan cara akselerasi secara masif, dimulai dari pengajaran agama di rumah, di sekolah, di tempat-tempat pengajian atau pembahasan kitab suci (masjid, gereja, dan sebagainya); dilanjutkan dengan pelajaran etika sosial secara berjenjang (sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi); diiringi dengan pembelajaran hukum sejak usia dini; ada goodwill berupa kebijakan pemerintah yang bersifat rasional, pemberdayaan dan pernyataan perundang-undangan serta institusi hukum, penerapan pola pembinaan karier PNS, aturan main yang jelas, termasuk konsekuensi hukum untuk partai politik; dan yang jelas, termasuk  role model dari pemimpin tertinggi hingga pemimpin di lapis terbawah (termasuk pemimpin informal) yang memberikan teladan hidup bersih dan bertanggung jawab.
Korupsi menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada 30 jenis. Dari 30 jenis tersebut, jenis tindakan korupsi dapat dikelompokkan menjadi 7 kelompok seperti sebagai berikut:
Merugikan keuangan negara;
Suap-menyuap;
Penggelapan dalam jabatan;
Pemerasan;
Perbuatan curang;
Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan
Gratifikasi.
Benang merah dari jenis-jenis tindakan tersebut terletak pada akibat yang ditimbulkan yaitu merugikan keuangan negara. Suap-menyuap umumnya dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh pemegang kewenangan yang bertujuan untuk menguntungkan pihak terkait. Penggelapan dalam jabatan banyak dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau golongan sang pemegang jabatan. Tindakan pemerasan dan perbuatan curang terutama menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Benturan kepentingan dalam pengadaan membuat kualitas hasil pengadaan tidak optimal dan menurunkan nilai aset negara hasil pengadaaan. Dan yang terakhir gratifikasi, dianggap sebagai salah satu suap yang dilakukan dengan bentuk lain.
Tindakan merugikan negara dapat kita kategorikan sebagai sikap tidak mencintai negara. Karena ketika kita mencintai, maka tidak mungkin akan tega menyakiti bahkan merugikan yang kita cintai. Bahkan kita akan rela melakukan apapun demi kebaikan yang kita cintai tersebut. Begitu pula dalam sikap mencintai negara ini. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sering berpesan agar jangan lelah atau putus asa dalam mencintai Republik Indonesia. Karena ketika kita sudah tidak mencintai, atau berpaling mencintai yang lain, maka kehancuran Republik ini sudah berada dalam genggaman. Ketika kita putus asa mencintai Republik Indonesia, maka akan mudah untuk membalaskan rasa putus asa tersebut dengan cara yang tidak baik.
Selanjutnya, korupsi dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakcintaaan sang koruptor terhadap negaranya. Oleh karena itu, dalam tugas ini saya mengusulkan suatu cara pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan pendekatan pemberian hukuman pada koruptor yaitu dengan melakukan deportasi.
Arti kata deportasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V (KBBI V) adalah pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ. Hukuman deportasi bagi koruptor di sini adalah pembuangan, pengasingan, atau pengusiran koruptor dari Republik Indonesia. Selain itu, saya juga mengusulkan hukuman deportasi ini diberlakukan bagi koruptor dari Indonesia di negara-negara lain yang mau bekerja sama dengan Indonesia. Jadi, koruptor tersebut tidak diizinkan tinggal di Indonesia dan negara-negara lain yang mau bekerja sama dalam penerapan hukuman ini.
Sebelum dideportasi, koruptor sudah harus mengembalikan uang negara yang dikorupsinya. Besar kerugian negara yang terjadi akibat korupsi tersebut juga dinilai dengan cermat dan harus dipertanggungjawabkan oleh koruptor tersebut.
Pendeportasian koruptor diharap memberikan efek rasa penyesalan dan jera atas tindakan korupsi yang dilakukan. Koruptor diusir dari negaranya dan negara lainnya tentu akan membuat ketidaknyamanan dalam hidupnya. Perihal setelah pendeportasian koruptor, negara tidak lagi bertanggung jawab kepadanya. Apakah sang koruptor melanjutkan kegiatan kejahatannya di luar sana, atau bertaubat dan mengharumkan nama Indonesia, atau malah membangun negara baru dengan sesama koruptor yang dideportasi.
Hukuman deportasi ini juga bertujuan untuk mengurangi potensi membudayanya tindakan korupsi, yaitu dalam bentuk menghilangkan salah satu unsurnya dari negara ini, diantaranya adalah manusia yang korup. Manusia yang korup, atau disebut koruptor, tersebut mencerminkan sikap dirinya yang tidak mencintai negaranya. Koruptor adalah warga negara yang tidak lagi berguna, merugikan, bahkan menjadi parasit bagi negara. Oleh karena itu, ia pun sudah tidak sepantasnya memiliki hak untuk menjadi warga negara tersebut lagi. Deportasi juga dapat menjadi pembelajaran pada koruptor atau calon koruptor bahwa negara ini
Penerapan hukuman deportasi tidak langsung diterapkan pada semua koruptor yang melakukan jenis tindakan korupsi sesuai Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada tingkatan hukuman sesuai jenis tindakan korupsi dan besar kerugian negara yang diakibatkannya. Untuk hukuman deportasi, saya mengusulkan untuk menjadi hukuman terberat koruptor selama hukuman mati belum bisa diterapkan. Apabila hukuman mati kelak diterapkan bagi koruptor, maka tingkatannya diturunkan menjadi di bawahnya.
Hukuman ini mungkin dirasa belum cukup untuk membalaskan apa yang telah dilakukan koruptor kepada negara ini. Dampak yang ditimbulkan korupsi tentunya sangat besar dan merugikan semua pihak. Bahkan jika dihitung, dampak korupsi bisa setara dengan pembunuhan terhadap warganya. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika koruptor mendapatkan hukuman mati bahkan seharusnya lebih.
Penerapan hukuman ini juga tidak bisa dilakukan tanpa dilakukan upaya-upaya pencegahan dan pengedukasian yang memadai. Oleh sebab tersebut, diperlukan juga penerapan upaya-upaya seperti yang telah diusulkan teman-teman anti korupsi.
Akhir kata, dalam proses menuju negara anti korupsi, Indonesia harus didukung dari semua sistem dan unsur negara dan dunia. Tidak cukup sebatas membuat kebijakan hukuman yang berat kepada koruptor, namun juga sambil memperbaiki sistem yang ada, seperti sistem pendidikan, sistem birokrasi, sistem penganggaran, pengadaan barang dan jasa, sistem politik, dan sistem hukum. Diumpamakan apabila negara adalah sebuah tubuh, ketika ingin maju kedepan semua anggota tubuh harus ikut maju, tidak bisa hanya kaki yang maju sedangkan anggota tubuh yang lain tertinggal di belakang. Jika tidak bisa langsung berbarengan, kaki harus berusaha menarik badan dan kepala untuk ikut maju ke depan.
Indonesia harus tetap optimis dalam upaya penyelesaian masalah korupsi. Semangat dalam pencegahan dan pemberantasan harus tetap dikobarkan di setiap lini pemerintahan dan warga Indonesia. Tidak boleh ada kata menyerah dan skeptisisme dalam setiap upaya yang dilakukan. Sekecil apa pun niatan dan langkah adalah suatu lompatan besar dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Oleh : Sumayyah